MAKALAH
SEJARAH SOSIAL POLITIK INDONESIA
Perbandingan Dinamika
Kebebasan Pers
Pada era Orde Lama,Orde Baru dan Reformasi
Kebebasan Pers
Pada era Orde Lama,Orde Baru dan Reformasi
Dosen Pengampu:
Herry Junius Nge, S.Sos, M.Si
Herry Junius Nge, S.Sos, M.Si
Oleh:
Antonius Niot
Nim : E1021161069
PEMBANGUNAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017
KATA
PENGANTAR
Puja
dan puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan berkat-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
tentang “perbandingan dinamika kebebasan pers pada orde lama, orde baru dan
reformasi” ini dengan baik.
Makalah
ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
sumber sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan
terima kasih kepada Herry Junius Nge, S.Sos, M.Si selaku dosen pengampu mata
kuliah Sejarah Sosial Politik Indonesia, Fakultas ISIP, Universitas Tanjungpura
yang telah memberikan tugas terstruktur ini.
Terlepas
dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir
kata saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR
ISI............................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN......................................................................... 1
1.1
Latar
Belakang.......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................... 2
1.3 Tujuan....................................................................................... 2
1.4 Tinjauan Pustaka...................................................................... 2
1.2 Rumusan Masalah..................................................................... 2
1.3 Tujuan....................................................................................... 2
1.4 Tinjauan Pustaka...................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN.......................................................................... 5
2.1
Pengertian Kebebasan Pers ...................................................... 5
2.2 Teori-teori Kebebasan Pers...................................................... 7
2.3 Kebebasan Pers pada era orde lama......................................... 9
2.4 Kebebasan Pers pada era orde baru.......................................... 14
2.5 Kebebasan Pers pada era reformasi.......................................... 19
2.2 Teori-teori Kebebasan Pers...................................................... 7
2.3 Kebebasan Pers pada era orde lama......................................... 9
2.4 Kebebasan Pers pada era orde baru.......................................... 14
2.5 Kebebasan Pers pada era reformasi.......................................... 19
BAB III PENUTUP................................................................................... 23
3.1
Kesimpulan................................................................................ 23
3.2 Saran.......................................................................................... 24
3.2 Saran.......................................................................................... 24
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................ 25
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pada masa sekarang dan dahulu
kebebasan pers sangat berbeda. Secara umum, orang sering menyamakan antara pers
dengan jurnalistik. Oleh untuk itu perlu ditelusuri sejarah jurnalistik
terlebih dahulu. Pers di Indonesia juga memiliki undang – undang yang mengatur
tentang kebebasan pers.
Undang – undang kebebasan pers
tersebut tertera di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal
4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi
warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk
menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan
pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa
setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Oleh sebab itu, pers di Indonesia
sangat dijamin karena memiliki hak asasi sebagai warga negara. Hubungan pers
era reformasi berlangsung dinamis, 21 Mei 1998 Indonesia meninggalkan gaya
lamanya reformasi. Sifatnya kritis terhadap
penguasa dan hal-hal yang terjadi di masyarakat . Dan
juga lebih mempunyai kebebasan ekspresi dalam arti harus bisa memainkan peran
penting dalam menggerakan Sumber Daya Alam, dan membawa masyarakat selalu
berfikir ke arah perubahan
2.2 Rumusan masalah
2.2.1
Definisi Kebebasan Pers?
2.2.2 Apa
teori-teori Kebebasan Pers?
2.2.3
Bagaimana kebebasan Pers pada orde lama?
2.2.4
Bagaimana kebebasan Pers pada orde baru?
2.2.5
Bagaimana kebebasan Pers pada reformasi?
2.3 Tujuan Penulisan
2.3.1 Untuk mengetahui dinamika perbandingan kebebasan
pada masa orde lama, orde baru dan era reformasi.
2.3.2 Untuk memenuhi tugas
terstruktur mata kuliah “ Sejarah Sosial Politik Indonesia”.
2.4 Tinjauan Pusaka
Pers Secara Umum adalah media massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik
dalam bentuk tulisan, suara, dan gambar serta data dan grafik dengan
menggunakan media elektronik dan media cetak dan dll.
Secara etimologi kata pers (Belanda), presse (prancis), Press (inggris), sedangkan kata pers
dalam bahas latin adalah pressare dari kata premere artinya "tekan" atau
"cetak".
definisi pers secara terminologisnya adalah media massa cetak
atau media cetak. Istilah pers dikenal sebagai salah satu jenis media massa
atau media komunikasi massa yang sudah lama dikenal oleh masyarakat dan tidak
hanya itu istilah pers juga lazim dikaitkan dengan surat kabar (newspaper) atau
majalah (magazine).
Pers Menurut Para Ahli, Weiner mengatakan bahwa pengertian pers adalah wartawan cetak
atau media cetak publistas atau peliputan berita, dan media mesin cetak.
Pengertian Pers menurut Oemar Seno Adji pakar komunikasi membagi pengertian
pers dalam arti sempit dan pengertian pers dalam arti luas, pengertian pers dalam arti sempit
adalah penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita dengan kata
bertulis, sedangkan pengertian
pers dalam arti luas adalah memasukkan didalamnya sebuah media mass
communications yang memancarkan pikiran dan perasaan orang baik dengan kata
yang tertulis maupun dengan lisan.
Pengertian pers menurut Gamle & Gamle adalah bagian komunikasi antara
manusia (human communication), yang berarti, media merupakan saluran atau
sarana dalam memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar
manusia. Pengertian pers menurut UUD No. 40 Tahun 1999 yang berbunyi bahwa pengertian pers
adalah lembaga sosial atau wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik yang meliputi, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan
gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak atau media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Kebebasan Pers
Kebebasan Pers adalah kebebasan menggunakan
pendapat, baik secara tulisan maupun lisan, melalui media pers, seperti harian,
majalah, dan buletin. Kebebasan pers dituntut tanggung jawabnya untuk
menegakkan keadilan, ketertiban, dan keamanan dalam masyarakat. Kebebasan pers
harus disertai tanggung jawab sebab kekuasaan yanb besar dan bebas yang
dimiliki manusia mudah sekali disalahgunakan dan dibuat semena-mena. Demikian
juga pers harus mempertimbangkan apakah berita yang disebarkan dapat
menguntungkan masyarakat luas atau memberi dampak positif pada masyarakat dan
bangsa. Inilah segi tanggung jawab pers. Jadi, pers diberikan kebebasan dengan
disertai tanggung jawab sosial.
Kebebasan pers sebagai perwujudan dari kebebasan berbicara
kebebasan berekspresi memang mempunyai makna yang signifikan terhadap
peningkatan kualitas pemerintahan maupun kecerdasan masyarakatnya sendiri.
Dengan kebebasan pers, pemerintah dan rakyat dapat mengetahui berbagai
peristiwa atau realitas yang sedang terjadi, maupun berbagai pendapat dan
argumentasi yang acap kali saling bertentangan. Melalui kebebasan pers,
komunikasi politik yang berupa kritikan kepada pejabat, instansi pemerintah,
maupun institusi masyarakat sendiri dijamin oleh negara, tanpa takut ditindak.
Memang kritikan acap kali
dirasa tidak menyenangkan bagi penerima kritik. Kebebasan
pers juga menjamin semakin terpenuhinya hak masyarakat untuk tahu terhadap
berbagai peristiwa yang sedang terjadi.
Pada hakikatnya hak masyarakat untuk tahu merupakan hal
penting yang harus dipenuhi oleh media massa. Asumsinya, media massa ataupun
pers merupakan institusi sosial yang dibentuk dan dihidupi oleh masyarakat
penggunanya, karena itu sudah jamaknya jika media harus berorientasi memenuhi
hak rakyat yang menghidupinya itu. Dalam hal ini media massa menjadi sarana
manusia untuk memahami realitas. Dan gambaran tentang realitas ( virtual reality ) yang berasal dari
informasi inilah yang nantinya mempengaruhi sikap dan
perilaku mereka. Kalau informasi media yang diungkap media tidak utuh karena
tidak adanya kebebasan pers, maka gambaran tentang realitas itupun akan bias,
dan akhirnya sikap dan perilaku masyarakat pun akan keliru. Inilah yang
kemudian memunculkan tuntutan adanya hak masyarakat untuk tahu, yang syaratnya
adalah kebebasan pers tadi. Jika kebebasan pers mengalami tekanan, inforasi
yang muncul di media massa bukan saja tidak transparan, tetapi juga informasi
mengenai fakta fakta itu menjadi tidak lengkap ( premateur facts ).
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni
pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian
luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan
film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan,
pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka
dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik
pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan
yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan,
majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.
Kebebasan
pers adalah kebebasan dalam konsep, gagasan, prinsip, dan nilai cetusan yang
bersifat nalriah kemanusiaan di mana pun manusia berada. Nilai kemanusiaan
adalah naluri mengeluarkan perasaan hati kepada orang lain sebagai pribadi yang
suaranya ingin diperhitungkan dan timbul dari keinginannya untuk menegaskan
eksistensinya. Untuk itu, jenis kebebasan meliputi hal-hal berikut.
v Kebebasan
pers (freedom of the press)
v Kebebasan
berpikir dan mengeluarkan pendapat (freedom of the opinion and expression)
v Kebebasan
berbicara (freedom of the speech)
Kebebasan
untuk menyampaikan, mempunyai, dan menyiarkan pendapat melalui pers dijamin
oleh konstitusi negara di mana pun pers berada.
2.2 Teori tentang Kebebasan Pers
Kebebasan Pers memiliki empat aliran yang
menghasilkan teori mengenai pers. Teori tersebut adalah sebagai berikut.
2.2.1 Teori Pers Totalitarian
Teori ini muncul di Rusia pada abad ke-19. Falsafah teori totalitarian
adalah media massa sebagai alat negara untuk menyampaikan segala sesuatunya
kepada rakyat. Pengguna media adalah anggota partai yang setia. Media massa
dikontrol secara ketat oleh pemerintah dan dilarang melakukan kritik atas
tujuan dan kebijakan.
2.2.2 Teori Pers Libertarian
Teori ini muncul di Inggris, kemudian
masuk ke Amerika hingga keseluruh dunia. Falsafah teori ini adalah pers memberi
penerangan dan hiburan dengan menghargai sepenuhnya individu. Teori libertarian
menganut paham ideologi kebebasan pers yang sebebas-bebasnya tanpa ada campur
tangan pengontrol terhadap media di dalamnya. Ideologi inilah yang diterapkan
oleh media massa yang bercorak free press. Pers menjadi alat kontrol masyarakat
kepada pemerintah dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
2.2.3 Teori Pers Social Responsibility
Teori ini menyatakan bahwa pers memiliki
tanggung jawab sosial. Teori ini dikembangkan di Amerika pada abad ke-20.
Falsafah teori ini adalah pers memberikan penerangan, hiburan, dan menjual
produk. Namun, pers dilarang melanggar kepentingan orang lain dan masyarakat.
Teori ini berada di tengah antara teori authoritarian dan libertarian. Hingga
saat ini, dunia pers di Amerika menganut teori social responsibility yang
berada netral di antara kedua kutub yang ada.
2.2.4 Teori Pers Authoritarian
Teori
ini dikembangkan di Inggrismulai abad ke-16 dan 17, kemudian ke seluruh dunia.
Falsafah teori authoritarian adalah pers menjadi kekuasaan mutlak kerajaan atau
pemerintah yang berkuasa guna mendukung kebijakannya. Pers difungsikan untuk
mengabdi pada kepentingan negara. Dengan demikian, yang berhak menggunakan
media komunikasi adalah siapa pun yang mendapat izin dari kerajaan atau pemerintah.
Teori ini memberikan keleluasaan kepada negara untuk melakukan intervensi
kepada pers.
2.5
Kebebasan Pers pada orde lama
(1945-1968)
2.5.1
Masa Revolusi (17 Agustus 1945-1949)
Pada masa itu pers dibagi menjadi 2 golongan yaitu
pers yang diterbitkan dan di usahakan oleh tentara pendudukan sekutu dan
belanda yang selajutnya dinamakan Pers NIKA. Pers yang diterbitkan dan
diusahakan oleh bangsa Indonesia yang dinamakan Pers Republik.
2.5.2 Masa Demokrasi Liberal (1949-1959)
Pers Nasional saat itu sesuai dengan alam liberal yang
sangat menikmati kebebasan Pers.
Fungsi Pers
pada masa ini adalah sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran politik.
Dalam aksi-aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh pers republik sangat
besar. Republik Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat
akhirnya bubar dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1950.
Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan
pendapat umum, pers kita yang pada umumnya mewakili aliran-aliran politik yang
saling bertentangan, menyalahgunakan kebebasan pers (freedom of the press),
yang kadang-kadang melampaui batas-batas kesopanan.
Ciri-Ciiri
per Masa Demokrasi Liberal
v
Memberi Perlindungan yang Keras
Terhadap Pers Namun dalam Prakteknya Tidak
v
Pembatasan Terhadap Pers
v
Adanya Tindakan Anti pers
2.5.3 Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Pada masa ini, pers menganut konsep Otoriter Pers di
beri tugas menggerakkan aksi-aksi masa yang revolusioner dengan jalan
memberikan penerangan membangkitkan jiwa dan kehendak masa agar mendukung
pelaksanaan manipol dan ketetapan pemerintah lainya.
Periode yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin
sering disebut sebagai zaman Orde Lama. Periode ini terjadi saat terbentuknya
Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, sebagai tindak lanjut
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga meletusnya Gerakan 30
September 1965.
Ciri-Ciri
Pers Masa Demokrasi Terpimpin
v
Tidak Adanya Kebebasan Pers
v
Adanya Ketegasan Terhadap Pers
v
Pemerintah Mengontrol Setiap
Kegiatan Pers
Lebih kurang
10 hari setelah Dekrit Presiden RI yang menyatakan kembali ke UUD 1945,
tindakan tekanan pada pers terus berlangsung, yaitu pembrei delan terhadap
Kantor berita PIA dan Surat Kabar Republik, Pedoman,
Berita Indonesia, dan Sin po yang dilakukan oleh
penguasa perang Jakarta. Upaya untuk membataasi kebebasan pers itu tercermin
dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi ketika menyambut HUT Proklamasi
Kemerdekaan RI ke-14, antara lain ia menyatakan:...hak kebebasan individu
disesuaikan dengan baik kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan
rakyat. Hak berfikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan
sebagaimana yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 harus ada batasnya: keamanan
negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung
jawab kapada Tuhan Yang Maha Esa”.
Pada awal
1960, penekanan pada kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda
Penerangan Maladi bahwa
“langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah,
dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang mulai mengenakan
sanksi-sanksi perizinan terhadap pers. Demi kepentingan pemeliharaan ketertiban
umum dan ketenangan, penguasa perang mencabut izin terbit Harian
Republik.
Memasuki tahun 1964 kondisi
kebebasan pers semakin memburuk: hal ini digambarkan oleh E.C Smith dengan
mengutip dari Army Handbook bahwa Kementrian Penerbangan dan
badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan yang ada hampir-hampir
tidak lebih daru sekedar perubahan sumber wewenang karena sensor tetap ketat
dan dilakukan secara sepihak. Berdasarkan uraian di atas, tindakan – tidakan
penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh penguasa Orde Lama bertambah bersamaan
dengan meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan – tindakan
penekanan terhadap kebebasan pers merosot ketika ketegangan dalam pemerintahan
menurun. Lebih-lebih setelah percetakan – percetakan diambil alih oleh
pemerintahan dan para wartawan diwajibkan untuk berjanji mendukung politik
pemerintahan, sehingga sangat sedikit pemerintahan melakukan tindakan penekanan
kepada pers.
Tindakan
pembatasan terhadap kemerdekaan pers selama tahun 1959 sama arahnya dengan
tahun-tahun sebelumnys. Dengan jumlah tindakan sebanyak 73 kali. Selama tahun
1960 terjadi tiga kali pencabutan izin terbit, sedangkan pada tahun 1961
mencapai 13 kali. Rincian tindakan penekanan atau tindakan antipers selama 14
tahun sejak Mei 1952 sampai dengan Desember 1965, menurut catatan Edward C. Smith mencapai
561 tindakan.
Pemerintah menekankan bahwa fungsi
utama pers ialah menyokong tujuan revolusi dan semua surat kabar menjadi kabar
juru bicara resmi pemerintah.
“Hal ini diungkapkan Smith berdasarkan pandangan presiden Soekarno ketika berpidato di muka rapat umum HUT ke-19
PWI, yang dimuat oleh New York Times, antara lain: “....Saya dengan
tegas menyatakan sekarang bahwa dalam suatu revolusi tidak boleh ada kebebasan
pers. Hanya pers yang mendukung revolusi yang dibolehkan hidup”, katanya. “Pers
yang bermusuhan terhadap revolusi harus disingkirkan”. Pers Indonesia di era Orde Lama dan Orde Baru dapat
dikategorikan dalam periode kedua dimana kontrol negara tehadap pers. Meski di
masa-masa awal berkuasanya rezim, hubungan harmoni masih dapat terlihat, sangat
besar sehingga mematikan dinamika pers. Setelah penyerahan kedaulatan Jepang
pada 15 Agustus 1945, wartawan Indonesia mengambil alih semua fasilitas
percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan berupaya menerbitkan surat kabar
sendiri. Surat kabar pertama yang terbit di masa republik itu bernama Berita
Indonesia yang terbit di Jakarta sejal 6 September 1945 (Semma, 2008, h.114).
Kondisi perpolitikan di Indonesia dalam tahun-tahun 1945-1958
dapat dikatakan masih sangat panas. Pertikaian dengan Belanda ataupun Jepang belum
lagi tuntas, dan pergolakan di beberapa tempat dengan pihak Belanda ataupun
Jepang yang belum menarik diri masih terjadi. Agar upaya serangan balik
terhadap propaganda anti Belanda yang dilancarkan oleh surat kabar seperti
surat kabar republik, maka Belanda juga menerbitkan surat kabar berbahasa
Indonesia, diantara Fadjar (Jakarta), Soeloeh Rakyat (Semarang), Pelita Rakyat
(Surabaya). Pada masa itu, sebagian besar surat kabar terbit dalam empat
halaman, dikarenakan kurangnya pendanaan dan percetakan yang masih minim.
Pada Desember 1948 di Indonesia telah terbit 124 surat kabar
dengan total tiras 405.000 eksemplar. Namun, pada April 1949, jumlah surat
kabar berkurang menjadi 81 dengan tiras 283.000 eksemplar. Hal ini juga
diakibatkan oleh Agresi Militer Belanda Kedua yang terjadi pada Desember 1948.
Sementara itu, jangkauan tiras berbubah dari 500 menjadi 5000 eksemplar.
Sepanjang periode ini, pers Indonesia semakin memperkuat semangat kebangsaan,
mempertajam teknik berpolemik, dan mulai memperlihatkan peningkatan semangat
partisipan.
2.6 Kebebasan Pers Pada Orde Baru
(1968 - 1998)
Pers masa orde baru di kenal dengan
istilah Pers Pancasila dan di tandai dengan di keluarkannya undang-undang pokok
Pers no 11 tahun 1966. Ketika alam Orde Baru ditandai dengan kegiatan
pembangunan di segala bidang, kehidupan pers kita pun mengalami perubahan
dengan sendirinya karena pers mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan
masyarakat di mana pers itu bergerak. Pers sebagai sarana penerangan/komunikasi
merupakan salah satu alat yang vital dalam proses pembangunan.
Pada masa Orde Baru, ternyata tidak
berarti kehidupan pers mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan
aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi
penghalang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak
asasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ciri-Ciri
Pers Masa Orde Baru:
v
Kebebasan Terhadap Pers
v
Pers Masa itu Sangat Buram
v
Berkembangnya Dunia Pers
Pers
adalah lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari sistem
kemasyarakatan tempat ia beroperasi bersama-sama dengan subsistem lain. Dengan
demikian, pers tidak hidup secara mandiri, tetapi memepengaruhi dan dipengaruhi
oleh lambaga-lambaga kemasyarakatan lainnya. Bersama-sama dengan
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya pers berada dalam keterikatan oganisasi
yang benama negara dengan pemerintah sebagai perencana dan pelaksana pencapaian
tujuannya. Eksistensi pers dipengaruhi bahkan ditentukan oleh falsafah dan
sistem politik negara tempat pers itu hidup.
Tidak bisa
dipungkiri bahwa pers memiliki peran yang sangat penting di suatu negara. Tanpa
pers, tidak ada informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke
pemerintahnya maupun sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang
tidak bisa diremehkan. Konsepsi Riswandha (1998 : 101) mengatakan bahwa ada
empat pilar pemelihara persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual
atau pers. Pers berfungsi sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang
diterapkan pada setiap kebijakan. Pada masa orde baru, pers bisa dikatakan
tidak ada fungsinya untuk warga negara. Pers sangat terlihat hanya sebagai
boneka penguasa. Tidak ada kebebasan berpendapat yang dijanjikan pemerintah
pada awal awal kekuasaan orde baru. Keberadaan pers diawasi secara ketat oleh
pemerintah di bawah naungan departemen penerangan. Hal ini dilakukan untuk
mengantisipasi hal – hal buruk di dalam pemerintahan orde baru sampai di
telinga masyarakat. Pers tidak bisa melakukan apapun selain patuh pada aturan
yang ditetapkan oleh pemerintah. Aspirasi masyarakat untuk pemerintah tidak
tersalurkan sama sekali. Hal ini dikarenakan komunikasi politik yang terjadi
hanya top – down. Artinya pers hanya sebagai komunikator dari pemerintah ke
rakyat. Pers tidak dapat melakukan fungsinya sebagai komunikator dari rakyat ke
pemerintah. Selain itu, pemberitaan yang disalurkan ke masyarakat mengenai
pemerintah harus merupakan berita – berita yang menjunjung tinggi keberhasilan
pemerintah. Yang diberitakan hanyalah sesuatu yang baik. Apabila suatu media nekat
menerbitkan pemberitaan – pemberitaan miring soal pemerintah, bisa di pastikan
nasib media tersebut berada di ujung tanduk.
Berdasarkan
teori politik yang dipaparkan diatas, jelas bahwa pers pada masa orde baru
sangat dikendalikan oleh pemerintah. Kontrol pemerintah terhadap pers tidak
dapat diragukan lagi, begitu juga dengan pegaruhnya. Kebijakan – kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah orde baru sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah
satu contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers,
yang mana sangat tidak pro-pers. Pers mengalami kesulitan saat dituntut untuk
melasanakan fungsi – fungsi yang secara alamiah melekat padanya, khususnya
fungsi mereka bagi masyarakat. Fungsi pers bagi masyarakat adalah menampilkan
informasi yang berdimensi politik lebih banyak dibandingkan dengan ekonomi,
dengan didominasi subyek negara serta kecenderungan pers untuk lebih berat ke
sisi negara harus dilakukan dengan cara lebih memilih realitas psikologis
dibanding dengan realitas sosiologis. Tidak hanya itu, 9 elemen dasar Bill
Kovach mengenai jurnalisme yang seharusnya diamalkan oleh pers tidak
terlaksana.
9 elemen dasar tersebut adalah :
v Kewajiban
utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran
v Loyalitas
utama jurnalisme adalah pada warga negara
v Esensi utama
jurnalisme adalah disiplin verifikasi
v Jurnalis
harus menjaga indepedensi dari objek liputannya
v Jurnalis
harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan
v Jurnalis
harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi
v Jurnalis
harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan
v Jurnalis
harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
v Jurnalis
harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personelnya.
Jika sudah
begitu, bisa dikatakan pers telah kehilangan jati dirinya. Contoh kediktatoran
pemerintah terhadap pers adalah peristiwa 21 Juni 1994. Saat itu beberapa media
massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau
dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi
tentang berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara. Akan
tetapi, meskipun pemerintah telah membungkam media sedemikian rupa, tetapi saja
ada media yang pantang menyerah melakukan perlawanan pada pemerintah. Salah
satunya adalah Tempo. Pemerintah orde baru selalu merasa terancam dengan
keberadaan Tempo. Hal tersebut wajar karena sikap pantang menyerah yang
ditanamkan media tersebut kepada wartawan – wartawannya. Tidak dapat dipungkiri
bahwa Tempo menjadi media terpenting pada masa orde baru.
Sesungguhnya
pada masa orde baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu
Dewan Pers. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga
independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan
kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Berdasarkan amanat UU, dewan pers
meiliki 7 fungsi :
v Melindungi
kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga
masyarakat
v Melakukan
pengkajian untuk pengembangan keidupan pers
v Menetapkan
dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik
v Memberikan
pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang
berhubungan dengan pemberitaan pers
v Mengembangkan
komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
v Memfasilitasi
organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan
kualitas profesi wartawan
v Mendata
persahaan pers
Namun sangat
disayangkan bahwa dewan pers masa orde baru tidak melaksanakan fungsinya dengan
efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis.
Hal tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak
anggota dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers
dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan
dewan pers selain mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan
melawan pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya
sebatas formalitas.
2.7 Kebebasan Pers Pada masa
Reformasi (1998 - Sekarang)
Di Era
Reformasi, pemerintah mengeluarkan berbagai undang-undang yang benar-benar
menjamin kebebasan Pers. Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde
Baru yang harus disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan Presiden Habibie
mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkali
kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden. Ciri-Ciri Pers Masa
Reformasi:
v Kebebasan
Mengeluarkan Pendapat (Pers adalah Hak Asasi Manusia)
v Wartawan
Mempunyai Hak Tolak
v Penerbit
Wajib Memiliki SIUPP
v Perusahaan
Pers Tidak Lagi Melibatkan Diri ke Departemen Penerangan untuk Mendapat SIUPP
Wajah pers Indonesiapada masa reformasi
berbeda dengan persIndonesia sebelumnya. Sekarang dengan bergulirnya reformasi,
pers Indonesia kelihatan lebih bergairah dibandingkan sebelumnya. Selain sisi
kebebasan berekspresi dari pers kita, pihak pemerintah, telah membuka “kran”
dalam kemudahan memdapatkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sehingga
jumlah penerbitan pers meningkat drastis dibanding masa sebelumnya. Bagaimana dengan kebebasan pers pada
masa reformasi? Tidak bisa dipungkiri bahwa pers pada masa orde baru sangat
berbeda dengan pers pada masa reformasi. Tidak ada kebebasan pers pada masa
orde baru. Namun, saat orde baru tumbang, pers seperti kehilangan kendali. Arus
kebebasan dibuka lebar – lebar secara spontan. Gelombang kebebasan pers
tercipta secara besar besaran, bukan perlahan dengan proses yang seharusnya.
Suatu kebijakan yang monumental karena dianggap sebagai tonggak dimulainya
kebebesan pers di Indonesia yakni dikeluarkannya Permenpen No.
01/per/Menpen/1998, tentang Kententuan – Ketentuan SIUPP. Pada Permenpen ini,
sanksi pencabutan SIUPP maupun pembreidelan bagi pers ditiadakan. Ada
lima peraturan, baik berupa Peraturan Menteri maupun Surat Keputusan Menteri,
yang keseluruhannya menghambat ruang gerak pers, dicabut. Puncaknya adalah
dikeluarkannya Undang- Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Terdapat pasal di
dalam undang-undang ini yang menyatakan pencabutan semua undang- undang pers
yang ada sebelumnya. Sejak saat itu, tidak ada lagi kebijakan pemerintah yang
memberatkan pers. Akibatnya, permintaan untuk izin penerbitan meningkat.
Pers masa reformasi selalu dihubungkan
dengan demokrasi. Yang mana demokrasi berarti kebebasan untuk berbicara dan
mengeluarkan pendapat. Salah satu indikator demokrasi adalah terciptanya
jurnalisme yang independen. Walaupun pada kenyataannya saat ini, terkadang pers
masih dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Pers masa
reformasi bebas menuliskan apapun kritik mereka terhadap pemerintah. Tidak ada
pembungkaman, apalagi pembredelan. Jika pemerintah tersinggung dengan apa yang
disampaikan oleh pers, jalan untuk melawannya bukan dengan memberedel pers, tetapi
dengan memanfaatkan pers itu sendiri sebagai alat komunikasi yang efektif
antara masyarakat dan pemerintah. Dengan kata lain, pers masa reformasi
menempatkan dirinya sebagai perantara rakyat dan pemerintah supaya tidak
terjadi perbedaan persepsi.
Pers masa reformasi sedikit banyak telah
menemukan jati dirinya. Pers menjadi lemabga yang independen. Pada masa
reformasi, komunikasi politik yang terjadsi antara masyarakat dan pemerintah
tidak hanya komunikasi top – down, melainkan juga bottom – up. Pers menjadi
sarana masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya, baik berupa tuntutan maupun
dukungan. Pers juga menjadi sarana pemerintah mensosialisasikan kebijakan –
kebijakan yang telah diambilnya. Pers menjadi wadah pemerintah untuk mengetahui
apakah kebijakan – kebijakan yang akan diambil disetujui rakyat atau tidak.
Apabila suatu kebijakan telah diambil dan dilaksanakan, pers dapat mengambil
perannya sebagai pengontrol kebijakan. Intinya, pers masa reformasi senantiasa
melaksanakan fungsinya pada setiap proses sistem politik. Pada masa ini, 9
elemen dasar serta fungsi – fungsi pers cukup terlaksana.
Namun, kebebasan pers yang tercipta pada
masa reformasi bukan berarti tidak menimbulkan masalah apapun. Kebebasan pers
masa reformasi terkadang terlewat batas. Terdapat ketidakseimbangan antara
keinginan masyarakat dengan kepentingan pers. Pers cenderung menampilkan
sesuatu yang berbau komersil dan hanya memikirkan keuntungan perusahaan. Berita
yang disajikan terkadang tidak objektif. Tidak hanya itu, pers juga terkadang
melanggar kode etik nya sendiri. Norma dan nilai yang ada di masyarakat
diabaikan. Dalam pencarian berita pun pers sering meniadakan kesopan santunan.
Pers tidak lagi menghargai privatisasi sumber berita. Sebagai contoh, pers
seharusnya fokus hanya pada masalah – masalah yang berhubungan dengan
kepentingan masyarakat, seperti kebijakan pemerintah, akan tetapi pers
menambahkannya dengan urusan pribadi sumber berita. Hal itu sangat melanggar
norma.
Kekhawatiran masyarakat terhadap
kebebasan pers, sempat muncul dalam aksi perlawanan dalam bentuk kekerasan
fisik. Hal ini antara lain ditandai dengan penyerangan harian Jawa Pos di
Surabaya oleh Banser pendukung Abdurrahman Wahid (alam Emilianus, 2005:
128).Intinya, pers menjadi lupa bahwa kebebasan pun masih harus ada batasnya.
Di masa reformasi pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat dengan
kekuasaan dan modal. Dan hal ini harus diantisipasi oleh masyarakat sebagai
pengawas atas perilaku pers di Indonesia.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kebebasan Pers adalah kebebasan menggunakan
pendapat, baik secara tulisan maupun lisan, melalui media pers, seperti harian,
majalah, dan buletin. Dengan
kebebasan pers, pemerintah dan rakyat dapat mengetahui berbagai peristiwa atau
realitas yang sedang terjadi, maupun berbagai pendapat dan argumentasi yang
acap kali saling bertentangan.
Kebebasan
pers harus disertai tanggung jawab sebab kekuasaan yanb besar dan bebas yang
dimiliki manusia mudah sekali disalahgunakan dan dibuat semena-mena. Demikian
juga pers harus mempertimbangkan apakah berita yang disebarkan dapat
menguntungkan masyarakat luas atau memberi dampak positif pada masyarakat dan
bangsa. Inilah segi tanggung jawab pers. Jadi, pers diberikan kebebasan dengan
disertai tanggung jawab sosial.
kebebasan pers pada masa orde lama, orde baru sangat berbeda
dengan kebebasan pers pada masa reformasi. Pers pada masa orde lama sangatlah
panjang dan banyak sekali peristiwa yang terjadi di dalamnya. Setelah
penyerahkan kedaulatan jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, wartawan Indobesia
mengambil alih semua fasilitas percetakan surat kabar dan berusaha menerbitkan
surat kabar itu sendiri.
Pada masa orde baru pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya
sebagai boneka pemerintah untuk melanggengkan kepentingannya. Sedangakan pada
masa reformasi, kebebasan pers sangat terjamin. Ruang gerak pers menjadi sangat
luas. Pers dapat melakukan fungsi top
– down dan bottom – up, walaupun terkadang
masih dimanfaatkan sebagai alat penguasa serta pemilik modal. Kebebasan pers
masa reformasi juga bukan berarti tanpa masalah, banyak masalah yang timbul
akibat dari kebebasan pers itu sendiri.
3.2 Saran
3.2.1 Bagi pihak pemerintah
Pemerintah tentunya
harus mengetahui posisi strategis keberadaan pers saat ini, sehingga dengan
demikian dapat menjadi indikator pembuatan kebijakan.
3.2.2 Bagi pihak pers
Pihak Pers harus mampu
memposisikan diri sebagai salah satu pengawal jalannya demokrasi di Indonesia
karena perannya yang strategis.
DAFTAR
PUSTAKA
B. Bambang Wismabrata, “Rekonstruksi
Makna Kebenaran Pers”, jurnal
penelitian iptek-com
http://www.zonasiswa.com/2015/11/kebebasan-pers-landasan-hukum-teori
https://wantysastro.wordpress.com/2012/12/02/pengertian-kebebasan-pers
Hamzah,
A, I Wayan dan WA Manalu. 1987. Delik-Delik
Pers di Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: Media sarana Pers
http://fadhildarmawi.blogspot.co.id/2014/02/kebebasan-pers-atau-media-massa.html
http://www.kompasiana.com/tiyawijaya/kebebasan-pers
Komentar
Posting Komentar