Langsung ke konten utama

Makalah Perbandingan Dinamika Kebebasan Pers



MAKALAH
SEJARAH SOSIAL POLITIK INDONESIA


Perbandingan Dinamika
Kebebasan Pers
Pada era Orde Lama,Orde Baru dan Reformasi


Dosen Pengampu:
H
erry Junius Nge, S.Sos, M.Si

Description: Hasil gambar untuk UNTAN


Oleh:
Antonius Niot
Nim : E1021161069


PEMBANGUNAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017



KATA PENGANTAR


Puja dan puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan berkat-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang “perbandingan dinamika kebebasan pers pada orde lama, orde baru dan reformasi” ini dengan baik.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai sumber sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan terima kasih kepada Herry Junius Nge, S.Sos, M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Sosial Politik Indonesia, Fakultas ISIP, Universitas Tanjungpura yang telah memberikan tugas terstruktur ini. 
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.


 



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR..............................................................................     i
DAFTAR ISI.............................................................................................     ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................    1
1.1 Latar Belakang..........................................................................    1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................    2
1.3 Tujuan.......................................................................................    2
1.4 Tinjauan Pustaka......................................................................     2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................    5
2.1 Pengertian Kebebasan Pers ......................................................    5
2.2 Teori-teori Kebebasan Pers......................................................     7
2.3 Kebebasan Pers pada era orde lama.........................................     9
2.4 Kebebasan Pers pada era orde baru..........................................    14
2.5 Kebebasan Pers pada era reformasi..........................................     19

BAB III PENUTUP...................................................................................    23
3.1 Kesimpulan................................................................................   23
3.2 Saran..........................................................................................   24
DAFTAR PUSTAKA................................................................................     25
           

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pada masa sekarang dan dahulu kebebasan pers sangat berbeda. Secara umum, orang sering menyamakan antara pers dengan jurnalistik. Oleh untuk itu perlu ditelusuri sejarah jurnalistik terlebih dahulu. Pers di Indonesia juga memiliki undang – undang yang mengatur tentang kebebasan pers.
Undang – undang kebebasan pers tersebut tertera di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Oleh sebab itu, pers di Indonesia sangat dijamin karena memiliki hak asasi sebagai warga negara. Hubungan pers era reformasi berlangsung dinamis, 21 Mei 1998 Indonesia meninggalkan gaya lamanya reformasi. Sifatnya kritis terhadap



penguasa dan hal-hal yang terjadi di masyarakat . Dan juga lebih mempunyai kebebasan ekspresi dalam arti harus bisa memainkan peran penting dalam menggerakan Sumber Daya Alam, dan membawa masyarakat selalu berfikir ke arah perubahan

2.2 Rumusan masalah
2.2.1 Definisi Kebebasan Pers?
2.2.2 Apa teori-teori Kebebasan Pers?
2.2.3 Bagaimana kebebasan Pers pada orde lama?
2.2.4 Bagaimana kebebasan Pers pada orde baru?
2.2.5 Bagaimana kebebasan Pers pada reformasi?

2.3 Tujuan Penulisan
2.3.1 Untuk  mengetahui dinamika perbandingan kebebasan pada masa orde lama, orde baru dan era reformasi.
2.3.2 Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah “ Sejarah Sosial Politik Indonesia”.

2.4 Tinjauan Pusaka
Pers Secara Umum adalah media massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik dalam bentuk tulisan, suara, dan gambar serta data dan grafik dengan menggunakan media elektronik dan media cetak dan dll.
Secara etimologi kata pers (Belanda), presse (prancis), Press (inggris), sedangkan kata pers dalam bahas latin adalah pressare dari kata premere artinya "tekan" atau "cetak".
definisi pers secara terminologisnya adalah media massa cetak atau media cetak. Istilah pers dikenal sebagai salah satu jenis media massa atau media komunikasi massa yang sudah lama dikenal oleh masyarakat dan tidak hanya itu istilah pers juga lazim dikaitkan dengan surat kabar (newspaper) atau majalah (magazine).
Pers Menurut Para Ahli, Weiner  mengatakan bahwa pengertian pers adalah wartawan cetak atau media cetak publistas atau peliputan berita, dan media mesin cetak. Pengertian Pers menurut Oemar Seno Adji pakar komunikasi membagi pengertian pers dalam arti sempit dan pengertian pers dalam arti luas, pengertian pers dalam arti sempit adalah penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita dengan kata bertulis, sedangkan pengertian pers dalam arti luas adalah memasukkan didalamnya sebuah media mass communications yang memancarkan pikiran dan perasaan orang baik dengan kata yang tertulis maupun dengan lisan.
Pengertian pers menurut Gamle & Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia (human communication), yang berarti, media merupakan saluran atau sarana dalam memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia. Pengertian pers menurut UUD No. 40 Tahun 1999 yang berbunyi bahwa pengertian pers adalah lembaga sosial atau wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak atau media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kebebasan Pers
Kebebasan Pers adalah kebebasan menggunakan pendapat, baik secara tulisan maupun lisan, melalui media pers, seperti harian, majalah, dan buletin. Kebebasan pers dituntut tanggung jawabnya untuk menegakkan keadilan, ketertiban, dan keamanan dalam masyarakat. Kebebasan pers harus disertai tanggung jawab sebab kekuasaan yanb besar dan bebas yang dimiliki manusia mudah sekali disalahgunakan dan dibuat semena-mena. Demikian juga pers harus mempertimbangkan apakah berita yang disebarkan dapat menguntungkan masyarakat luas atau memberi dampak positif pada masyarakat dan bangsa. Inilah segi tanggung jawab pers. Jadi, pers diberikan kebebasan dengan disertai tanggung jawab sosial.
Kebebasan pers sebagai perwujudan dari kebebasan berbicara kebebasan berekspresi memang mempunyai makna yang signifikan terhadap peningkatan kualitas pemerintahan maupun kecerdasan masyarakatnya sendiri. Dengan kebebasan pers, pemerintah dan rakyat dapat mengetahui berbagai peristiwa atau realitas yang sedang terjadi, maupun berbagai pendapat dan argumentasi yang acap kali saling bertentangan. Melalui kebebasan pers, komunikasi politik yang berupa kritikan kepada pejabat, instansi pemerintah, maupun institusi masyarakat sendiri dijamin oleh negara, tanpa takut ditindak. Memang kritikan acap kali

dirasa tidak menyenangkan bagi penerima kritik. Kebebasan pers juga menjamin semakin terpenuhinya hak masyarakat untuk tahu terhadap berbagai peristiwa yang sedang terjadi.
Pada hakikatnya hak masyarakat untuk tahu merupakan hal penting yang harus dipenuhi oleh media massa. Asumsinya, media massa ataupun pers merupakan institusi sosial yang dibentuk dan dihidupi oleh masyarakat penggunanya, karena itu sudah jamaknya jika media harus berorientasi memenuhi hak rakyat yang menghidupinya itu. Dalam hal ini media massa menjadi sarana manusia untuk memahami realitas. Dan gambaran tentang realitas ( virtual reality ) yang berasal dari
informasi inilah yang nantinya mempengaruhi sikap dan perilaku mereka. Kalau informasi media yang diungkap media tidak utuh karena tidak adanya kebebasan pers, maka gambaran tentang realitas itupun akan bias, dan akhirnya sikap dan perilaku masyarakat pun akan keliru. Inilah yang kemudian memunculkan tuntutan adanya hak masyarakat untuk tahu, yang syaratnya adalah kebebasan pers tadi. Jika kebebasan pers mengalami tekanan, inforasi yang muncul di media massa bukan saja tidak transparan, tetapi juga informasi mengenai fakta fakta itu menjadi tidak lengkap ( premateur facts ).
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.
Kebebasan pers adalah kebebasan dalam konsep, gagasan, prinsip, dan nilai cetusan yang bersifat nalriah kemanusiaan di mana pun manusia berada. Nilai kemanusiaan adalah naluri mengeluarkan perasaan hati kepada orang lain sebagai pribadi yang suaranya ingin diperhitungkan dan timbul dari keinginannya untuk menegaskan eksistensinya. Untuk itu, jenis kebebasan meliputi hal-hal berikut.
v  Kebebasan pers (freedom of the press)
v  Kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat (freedom of the opinion and expression)
v  Kebebasan berbicara (freedom of the speech)
Kebebasan untuk menyampaikan, mempunyai, dan menyiarkan pendapat melalui pers dijamin oleh konstitusi negara di mana pun pers berada.

2.2 Teori tentang Kebebasan Pers
Kebebasan Pers memiliki empat aliran yang menghasilkan teori mengenai pers. Teori tersebut adalah sebagai berikut.
2.2.1 Teori Pers Totalitarian
         Teori ini muncul di Rusia pada abad ke-19. Falsafah teori totalitarian adalah media massa sebagai alat negara untuk menyampaikan segala sesuatunya kepada rakyat. Pengguna media adalah anggota partai yang setia. Media massa dikontrol secara ketat oleh pemerintah dan dilarang melakukan kritik atas tujuan dan kebijakan.
2.2.2 Teori Pers Libertarian
     Teori ini muncul di Inggris, kemudian masuk ke Amerika hingga keseluruh dunia. Falsafah teori ini adalah pers memberi penerangan dan hiburan dengan menghargai sepenuhnya individu. Teori libertarian menganut paham ideologi kebebasan pers yang sebebas-bebasnya tanpa ada campur tangan pengontrol terhadap media di dalamnya. Ideologi inilah yang diterapkan oleh media massa yang bercorak free press. Pers menjadi alat kontrol masyarakat kepada pemerintah dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
2.2.3 Teori Pers Social Responsibility
 Teori ini menyatakan bahwa pers memiliki tanggung jawab sosial. Teori ini dikembangkan di Amerika pada abad ke-20. Falsafah teori ini adalah pers memberikan penerangan, hiburan, dan menjual produk. Namun, pers dilarang melanggar kepentingan orang lain dan masyarakat. Teori ini berada di tengah antara teori authoritarian dan libertarian. Hingga saat ini, dunia pers di Amerika menganut teori social responsibility yang berada netral di antara kedua kutub yang ada.
2.2.4 Teori Pers Authoritarian
Teori ini dikembangkan di Inggrismulai abad ke-16 dan 17, kemudian ke seluruh dunia. Falsafah teori authoritarian adalah pers menjadi kekuasaan mutlak kerajaan atau pemerintah yang berkuasa guna mendukung kebijakannya. Pers difungsikan untuk mengabdi pada kepentingan negara. Dengan demikian, yang berhak menggunakan media komunikasi adalah siapa pun yang mendapat izin dari kerajaan atau pemerintah. Teori ini memberikan keleluasaan kepada negara untuk melakukan intervensi kepada pers.

2.5  Kebebasan Pers pada orde lama (1945-1968)
2.5.1 Masa Revolusi (17 Agustus 1945-1949)
Pada masa itu pers dibagi menjadi 2 golongan yaitu pers yang diterbitkan dan di usahakan oleh tentara pendudukan sekutu dan belanda yang selajutnya dinamakan Pers NIKA. Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh bangsa Indonesia yang dinamakan Pers Republik.
2.5.2 Masa Demokrasi Liberal (1949-1959)
Pers Nasional saat itu sesuai dengan alam liberal yang sangat menikmati kebebasan Pers.
Fungsi Pers pada masa ini adalah sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran politik. Dalam aksi-aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh pers republik sangat besar. Republik Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat akhirnya bubar dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950.
Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers kita yang pada umumnya mewakili aliran-aliran politik yang saling bertentangan, menyalahgunakan kebebasan pers (freedom of the press), yang kadang-kadang melampaui batas-batas kesopanan.
Ciri-Ciiri per Masa Demokrasi Liberal
v  Memberi Perlindungan yang Keras Terhadap Pers Namun dalam Prakteknya Tidak
v  Pembatasan Terhadap Pers
v  Adanya Tindakan Anti pers

2.5.3 Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Pada masa ini, pers menganut konsep Otoriter Pers di beri tugas menggerakkan aksi-aksi masa yang revolusioner dengan jalan memberikan penerangan membangkitkan jiwa dan kehendak masa agar mendukung pelaksanaan manipol dan ketetapan pemerintah lainya.
Periode yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin sering disebut sebagai zaman Orde Lama. Periode ini terjadi saat terbentuknya Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga meletusnya Gerakan 30 September 1965.
Ciri-Ciri Pers Masa Demokrasi Terpimpin
v  Tidak Adanya Kebebasan Pers
v  Adanya Ketegasan Terhadap Pers
v  Pemerintah Mengontrol Setiap Kegiatan Pers
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI yang menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pada pers terus berlangsung, yaitu pembrei delan terhadap Kantor berita PIA dan Surat Kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin po yang dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Upaya untuk membataasi kebebasan pers itu tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi  ketika menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-14, antara lain ia menyatakan:...hak kebebasan individu disesuaikan dengan baik kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berfikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kapada Tuhan Yang Maha Esa”.
Pada awal 1960, penekanan pada kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Penerangan Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers. Demi kepentingan pemeliharaan ketertiban umum dan ketenangan, penguasa perang mencabut izin terbit Harian Republik.
Memasuki tahun 1964 kondisi kebebasan pers semakin memburuk: hal ini digambarkan oleh E.C Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementrian Penerbangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan yang ada hampir-hampir tidak lebih daru sekedar perubahan sumber wewenang karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak. Berdasarkan uraian di atas, tindakan – tidakan penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh penguasa Orde Lama bertambah bersamaan dengan meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan – tindakan penekanan terhadap kebebasan pers merosot ketika ketegangan dalam pemerintahan menurun. Lebih-lebih setelah percetakan – percetakan diambil alih oleh pemerintahan dan para wartawan diwajibkan untuk berjanji mendukung politik pemerintahan, sehingga sangat sedikit pemerintahan melakukan tindakan penekanan kepada pers.
Tindakan pembatasan terhadap kemerdekaan pers selama tahun 1959 sama arahnya dengan tahun-tahun sebelumnys. Dengan jumlah tindakan sebanyak 73 kali. Selama tahun 1960 terjadi tiga kali pencabutan izin terbit, sedangkan pada tahun 1961 mencapai 13 kali. Rincian tindakan penekanan atau tindakan antipers selama 14 tahun sejak Mei 1952 sampai dengan Desember 1965, menurut catatan Edward C. Smith mencapai 561 tindakan.
Pemerintah menekankan bahwa fungsi utama pers ialah menyokong tujuan revolusi dan semua surat kabar menjadi kabar juru bicara resmi pemerintah.
“Hal ini diungkapkan Smith berdasarkan pandangan presiden Soekarno ketika berpidato di muka rapat umum HUT ke-19 PWI, yang dimuat oleh New York Times, antara lain: “....Saya dengan tegas menyatakan sekarang bahwa dalam suatu revolusi tidak boleh ada kebebasan pers. Hanya pers yang mendukung revolusi yang dibolehkan hidup”, katanya. “Pers yang bermusuhan terhadap revolusi harus disingkirkan”. Pers Indonesia di era Orde Lama dan Orde Baru dapat dikategorikan dalam periode kedua dimana kontrol negara tehadap pers. Meski di masa-masa awal berkuasanya rezim, hubungan harmoni masih dapat terlihat, sangat besar sehingga mematikan dinamika pers. Setelah penyerahan kedaulatan Jepang pada 15 Agustus 1945, wartawan Indonesia mengambil alih semua fasilitas percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan berupaya menerbitkan surat kabar sendiri. Surat kabar pertama yang terbit di masa republik itu bernama Berita Indonesia yang terbit di Jakarta sejal 6 September 1945 (Semma, 2008, h.114).
Kondisi perpolitikan di Indonesia dalam tahun-tahun 1945-1958 dapat dikatakan masih sangat panas. Pertikaian dengan Belanda ataupun Jepang belum lagi tuntas, dan pergolakan di beberapa tempat dengan pihak Belanda ataupun Jepang yang belum menarik diri masih terjadi. Agar upaya serangan balik terhadap propaganda anti Belanda yang dilancarkan oleh surat kabar seperti surat kabar republik, maka Belanda juga menerbitkan surat kabar berbahasa Indonesia, diantara Fadjar (Jakarta), Soeloeh Rakyat (Semarang), Pelita Rakyat (Surabaya). Pada masa itu, sebagian besar surat kabar terbit dalam empat halaman, dikarenakan kurangnya pendanaan dan percetakan yang masih minim.
Pada Desember 1948 di Indonesia telah terbit 124 surat kabar dengan total tiras 405.000 eksemplar. Namun, pada April 1949, jumlah surat kabar berkurang menjadi 81 dengan tiras 283.000 eksemplar. Hal ini juga diakibatkan oleh Agresi Militer Belanda Kedua yang terjadi pada Desember 1948. Sementara itu, jangkauan tiras berbubah dari 500 menjadi 5000 eksemplar. Sepanjang periode ini, pers Indonesia semakin memperkuat semangat kebangsaan, mempertajam teknik berpolemik, dan mulai memperlihatkan peningkatan semangat partisipan.

2.6 Kebebasan Pers Pada Orde Baru (1968 - 1998)
Pers masa orde baru di kenal dengan istilah Pers Pancasila dan di tandai dengan di keluarkannya undang-undang pokok Pers no 11 tahun 1966.  Ketika alam Orde Baru ditandai dengan kegiatan pembangunan di segala bidang, kehidupan pers kita pun mengalami perubahan dengan sendirinya karena pers mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan masyarakat di mana pers itu bergerak. Pers sebagai sarana penerangan/komunikasi merupakan salah satu alat yang vital dalam proses pembangunan.
Pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi penghalang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ciri-Ciri Pers Masa  Orde Baru:
v  Kebebasan Terhadap Pers
v  Pers Masa itu Sangat Buram
v  Berkembangnya Dunia Pers
Pers adalah lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari sistem kemasyarakatan tempat ia beroperasi bersama-sama dengan subsistem lain. Dengan demikian, pers tidak hidup secara mandiri, tetapi memepengaruhi dan dipengaruhi oleh lambaga-lambaga kemasyarakatan lainnya. Bersama-sama dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya pers berada dalam keterikatan oganisasi yang benama negara dengan pemerintah sebagai perencana dan pelaksana pencapaian tujuannya. Eksistensi pers dipengaruhi bahkan ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu hidup.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pers memiliki peran yang sangat penting di suatu negara. Tanpa pers, tidak ada informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke pemerintahnya maupun sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang tidak bisa diremehkan. Konsepsi Riswandha (1998 : 101) mengatakan bahwa ada empat pilar pemelihara persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual atau pers. Pers berfungsi sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang diterapkan pada setiap kebijakan. Pada masa orde baru, pers bisa dikatakan tidak ada fungsinya untuk warga negara. Pers sangat terlihat hanya sebagai boneka penguasa. Tidak ada kebebasan berpendapat yang dijanjikan pemerintah pada awal awal kekuasaan orde baru. Keberadaan pers diawasi secara ketat oleh pemerintah di bawah naungan departemen penerangan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi hal – hal buruk di dalam pemerintahan orde baru sampai di telinga masyarakat. Pers tidak bisa melakukan apapun selain patuh pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Aspirasi masyarakat untuk pemerintah tidak tersalurkan sama sekali. Hal ini dikarenakan komunikasi politik yang terjadi hanya top – down. Artinya pers hanya sebagai komunikator dari pemerintah ke rakyat. Pers tidak dapat melakukan fungsinya sebagai komunikator dari rakyat ke pemerintah. Selain itu, pemberitaan yang disalurkan ke masyarakat mengenai pemerintah harus merupakan berita – berita yang menjunjung tinggi keberhasilan pemerintah. Yang diberitakan hanyalah sesuatu yang baik. Apabila suatu media nekat menerbitkan pemberitaan – pemberitaan miring soal pemerintah, bisa di pastikan nasib media tersebut berada di ujung tanduk.
Berdasarkan teori politik yang dipaparkan diatas, jelas bahwa pers pada masa orde baru sangat dikendalikan oleh pemerintah. Kontrol pemerintah terhadap pers tidak dapat diragukan lagi, begitu juga dengan pegaruhnya. Kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan pemerintah orde baru sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah satu contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers, yang mana sangat tidak pro-pers. Pers mengalami kesulitan saat dituntut untuk melasanakan fungsi – fungsi yang secara alamiah melekat padanya, khususnya fungsi mereka bagi masyarakat. Fungsi pers bagi masyarakat adalah menampilkan informasi yang berdimensi politik lebih banyak dibandingkan dengan ekonomi, dengan didominasi subyek negara serta kecenderungan pers untuk lebih berat ke sisi negara harus dilakukan dengan cara lebih memilih realitas psikologis dibanding dengan realitas sosiologis. Tidak hanya itu, 9 elemen dasar Bill Kovach mengenai jurnalisme yang seharusnya diamalkan oleh pers tidak terlaksana.
9 elemen dasar tersebut adalah :
v  Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran
v  Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara
v  Esensi utama jurnalisme adalah disiplin verifikasi
v  Jurnalis harus menjaga indepedensi dari objek liputannya
v  Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan
v  Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi
v  Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan
v  Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
v  Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personelnya.

Jika sudah begitu, bisa dikatakan pers telah kehilangan jati dirinya. Contoh kediktatoran pemerintah terhadap pers adalah peristiwa 21 Juni 1994. Saat itu beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara. Akan tetapi, meskipun pemerintah telah membungkam media sedemikian rupa, tetapi saja ada media yang pantang menyerah melakukan perlawanan pada pemerintah. Salah satunya adalah Tempo. Pemerintah orde baru selalu merasa terancam dengan keberadaan Tempo. Hal tersebut wajar karena sikap pantang menyerah yang ditanamkan media tersebut kepada wartawan – wartawannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa Tempo menjadi media terpenting pada masa orde baru.
Sesungguhnya pada masa orde baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu Dewan Pers. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Berdasarkan amanat UU, dewan pers meiliki 7 fungsi :
v  Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat
v  Melakukan pengkajian untuk pengembangan keidupan pers
v  Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik
v  Memberikan pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers
v  Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
v  Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan
v  Mendata persahaan pers
Namun sangat disayangkan bahwa dewan pers masa orde baru tidak melaksanakan fungsinya dengan efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis. Hal tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak anggota dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan dewan pers selain mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan melawan pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya sebatas formalitas.
2.7 Kebebasan Pers Pada masa Reformasi (1998 - Sekarang)
Di Era Reformasi, pemerintah mengeluarkan berbagai undang-undang yang benar­-benar menjamin kebebasan Pers. Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang harus disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan Presiden Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkali kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden. Ciri-Ciri Pers Masa Reformasi:
v  Kebebasan Mengeluarkan Pendapat  (Pers adalah Hak Asasi Manusia)
v  Wartawan Mempunyai Hak Tolak
v  Penerbit Wajib Memiliki SIUPP
v  Perusahaan Pers Tidak Lagi Melibatkan Diri ke Departemen Penerangan untuk Mendapat SIUPP
Wajah pers Indonesiapada masa reformasi berbeda dengan persIndonesia sebelumnya. Sekarang dengan bergulirnya reformasi, pers Indonesia kelihatan lebih bergairah dibandingkan sebelumnya. Selain sisi kebebasan berekspresi dari pers kita, pihak pemerintah, telah membuka “kran” dalam kemudahan memdapatkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sehingga jumlah penerbitan pers meningkat drastis dibanding masa sebelumnya.            Bagaimana dengan kebebasan pers pada masa reformasi? Tidak bisa dipungkiri bahwa pers pada masa orde baru sangat berbeda dengan pers pada masa reformasi. Tidak ada kebebasan pers pada masa orde baru. Namun, saat orde baru tumbang, pers seperti kehilangan kendali. Arus kebebasan dibuka lebar – lebar secara spontan. Gelombang kebebasan pers tercipta secara besar besaran, bukan perlahan dengan proses yang seharusnya. Suatu kebijakan yang monumental karena dianggap sebagai tonggak dimulainya kebebesan pers di Indonesia yakni dikeluarkannya Permenpen No. 01/per/Menpen/1998, tentang Kententuan – Ketentuan SIUPP. Pada Permenpen ini, sanksi pencabutan SIUPP maupun pembreidelan bagi  pers ditiadakan. Ada lima peraturan, baik berupa Peraturan Menteri maupun Surat Keputusan Menteri, yang keseluruhannya menghambat ruang gerak pers, dicabut. Puncaknya adalah dikeluarkannya Undang- Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Terdapat pasal di dalam undang-undang ini yang menyatakan pencabutan semua undang- undang pers yang ada sebelumnya. Sejak saat itu, tidak ada lagi kebijakan pemerintah yang memberatkan pers. Akibatnya, permintaan untuk izin penerbitan meningkat.
Pers masa reformasi selalu dihubungkan dengan demokrasi. Yang mana demokrasi berarti kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Salah satu indikator demokrasi adalah terciptanya jurnalisme yang independen. Walaupun pada kenyataannya saat ini, terkadang pers masih dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Pers masa reformasi bebas menuliskan apapun kritik mereka terhadap pemerintah. Tidak ada pembungkaman, apalagi pembredelan. Jika pemerintah tersinggung dengan apa yang disampaikan oleh pers, jalan untuk melawannya bukan dengan memberedel pers, tetapi dengan memanfaatkan pers itu sendiri sebagai alat komunikasi yang efektif antara masyarakat dan pemerintah. Dengan kata lain, pers masa reformasi menempatkan dirinya sebagai perantara rakyat dan pemerintah supaya tidak terjadi perbedaan persepsi.
Pers masa reformasi sedikit banyak telah menemukan jati dirinya. Pers menjadi lemabga yang independen. Pada masa reformasi, komunikasi politik yang terjadsi antara masyarakat dan pemerintah tidak hanya komunikasi top – down, melainkan juga bottom – up. Pers menjadi sarana masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya, baik berupa tuntutan maupun dukungan. Pers juga menjadi sarana pemerintah mensosialisasikan kebijakan – kebijakan yang telah diambilnya. Pers menjadi wadah pemerintah untuk mengetahui apakah kebijakan – kebijakan yang akan diambil disetujui rakyat atau tidak. Apabila suatu kebijakan telah diambil dan dilaksanakan, pers dapat mengambil perannya sebagai pengontrol kebijakan. Intinya, pers masa reformasi senantiasa melaksanakan fungsinya pada setiap proses sistem politik. Pada masa ini, 9 elemen dasar serta fungsi – fungsi pers cukup terlaksana.
Namun, kebebasan pers yang tercipta pada masa reformasi bukan berarti tidak menimbulkan masalah apapun. Kebebasan pers masa reformasi terkadang terlewat batas. Terdapat ketidakseimbangan antara keinginan masyarakat dengan kepentingan pers. Pers cenderung menampilkan sesuatu yang berbau komersil dan hanya memikirkan keuntungan perusahaan. Berita yang disajikan terkadang tidak objektif. Tidak hanya itu, pers juga terkadang melanggar kode etik nya sendiri. Norma dan nilai yang ada di masyarakat diabaikan. Dalam pencarian berita pun pers sering meniadakan kesopan santunan. Pers tidak lagi menghargai privatisasi sumber berita. Sebagai contoh, pers seharusnya fokus hanya pada masalah – masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, seperti kebijakan pemerintah, akan tetapi pers menambahkannya dengan urusan pribadi sumber berita. Hal itu sangat melanggar norma.
Kekhawatiran masyarakat terhadap kebebasan pers, sempat muncul dalam aksi perlawanan dalam bentuk kekerasan fisik. Hal ini antara lain ditandai dengan penyerangan harian Jawa Pos di Surabaya oleh Banser pendukung Abdurrahman Wahid (alam Emilianus, 2005: 128).Intinya, pers menjadi lupa bahwa kebebasan pun masih harus ada batasnya. Di masa reformasi pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat dengan kekuasaan dan modal. Dan hal ini harus diantisipasi oleh masyarakat sebagai pengawas atas perilaku pers di Indonesia.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebebasan Pers adalah kebebasan menggunakan pendapat, baik secara tulisan maupun lisan, melalui media pers, seperti harian, majalah, dan buletin. Dengan kebebasan pers, pemerintah dan rakyat dapat mengetahui berbagai peristiwa atau realitas yang sedang terjadi, maupun berbagai pendapat dan argumentasi yang acap kali saling bertentangan.
Kebebasan pers harus disertai tanggung jawab sebab kekuasaan yanb besar dan bebas yang dimiliki manusia mudah sekali disalahgunakan dan dibuat semena-mena. Demikian juga pers harus mempertimbangkan apakah berita yang disebarkan dapat menguntungkan masyarakat luas atau memberi dampak positif pada masyarakat dan bangsa. Inilah segi tanggung jawab pers. Jadi, pers diberikan kebebasan dengan disertai tanggung jawab sosial.
kebebasan pers pada masa orde lama, orde baru sangat berbeda dengan kebebasan pers pada masa reformasi. Pers pada masa orde lama sangatlah panjang dan banyak sekali peristiwa yang terjadi di dalamnya. Setelah penyerahkan kedaulatan jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, wartawan Indobesia mengambil alih semua fasilitas percetakan surat kabar dan berusaha menerbitkan surat kabar itu sendiri.
Pada masa orde baru pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya sebagai boneka pemerintah untuk melanggengkan kepentingannya. Sedangakan pada masa reformasi, kebebasan pers sangat terjamin. Ruang gerak pers menjadi sangat luas. Pers dapat melakukan fungsi top – down dan bottom – up, walaupun terkadang masih dimanfaatkan sebagai alat penguasa serta pemilik modal. Kebebasan pers masa reformasi juga bukan berarti tanpa masalah, banyak masalah yang timbul akibat dari kebebasan pers itu sendiri.


3.2 Saran
3.2.1 Bagi pihak pemerintah
Pemerintah tentunya harus mengetahui posisi strategis keberadaan pers saat ini, sehingga dengan demikian dapat menjadi indikator pembuatan kebijakan.
3.2.2 Bagi pihak pers
Pihak Pers harus mampu memposisikan diri sebagai salah satu pengawal jalannya demokrasi di Indonesia karena perannya yang strategis.  


DAFTAR PUSTAKA
B. Bambang Wismabrata, “Rekonstruksi Makna Kebenaran Pers”, jurnal penelitian iptek-com
http://www.zonasiswa.com/2015/11/kebebasan-pers-landasan-hukum-teori
https://wantysastro.wordpress.com/2012/12/02/pengertian-kebebasan-pers
Hamzah, A, I Wayan dan WA Manalu. 1987. Delik-Delik Pers di Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: Media sarana Pers
http://fadhildarmawi.blogspot.co.id/2014/02/kebebasan-pers-atau-media-massa.html
http://www.kompasiana.com/tiyawijaya/kebebasan-pers





 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Film yang tak berani tayang dibioskop

Daftar film di bawah ini mungkin hanya bisa kalian tonton di rumah. Karena rasanya sangat sulit untuk tayang di bioskop. 1.Cannibal Holocaust (1980) Cannibal Holocaust adalah sebuah film horor kanibal dan thriller Italia yang di rilis pada tahun 1980 serta di sutradarai oleh seorang Sutradara yang berasal dari Italia, Ruggero Deodato. Sinopsinya ada seorang reporter memberitakan tentang hilangnya kru film secara misterius kemudian Alan Yates Sutradara, Faye Daniels pacar Alan sekaligus sebagai scriptgirl serta Jack Anders dan Mark Tomaso yang bekerja sebagai Juru kamera. Mereka berangkat menuju hutan di perbatasan antara Brazil dan Peru untuk mendokumentasikan keberadaaan suku-suku kanibal tersebut. Antropolog Profesor Harold Monroe di berikan tugas oleh New York University untuk mencari tahu apa yang terjadi pada kru film tersebut. Adegan-adegan menyayat hati akan banyak bertebaran diparuh 20 menit pada awal hingga akhir film. Aku pastikan anda akan terbelalak akan special ef...

Objek Wisata Alam Air Terjun Semirah Merambang Desa Tinting Boyok, Kecamatan Sekadau Hulu Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat

Indonesia adalah suatu negara yang terdiri dari begitu banyak pulau. Pulau-pulau tersebut tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dari begitu banyak pulau tersebut salah satunya adalah pulau Kalimantan Barat. Kalimantan Barat adalah salah satu provinsi yang merupakan bagian dari negara Indonesia dengan ibu kotanya adalah Pontianak. Pulau Kalimantan Barat juga dikenal dengan Pulau Boreno. Kalimantan Barat adalah suatu provinsi yang kaya akan keindahaan alam yang begitu mempesona. Keindahan alam tersebut tersebar di beberapa Desa, Kecamatan, maupun Kabupaten yang ada di kalimantan Barat. Salah satu daerah yang memiliki keindahan alam adalah Kabupaten Sekadau. Sekadau merupakan ibu kota dari Sekadau. Kabupaten Sekadau adalah suatu daerah yang merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan Barat. Sekadau merupakan suatu Kabupaten  yang terbentuk atas dasar pemekaran dari Kabupaten Sanggau. Di daerah barat Kabupaten Sekadau berbatasan dengan Kabupaten Sanggau. Sementara di sebelah Timur dan ...

Lubang Misterius Berisi Nyala Api Muncul

Lubang  yang isinya nyala api ditemukan di lereng bukit dengan kedalaman mencapai 300 meter.  Lubang  itu tepatnya tak jauh dari Urumqi, kawasan Otonomi Xinjiang. Foto itu yang diunggah  Shanghaidaily.com  itu menunjukan seorang pria sedang melihat ke dalam lubang yang tampak berwarna merah. Pemerintah setempat mengatakan, lubang itu diduga terjadi sebab pembakaran spontan lapisan batu bara yang berada di perut bumi. Lubang  itu muncul dan dilihat mata setelah permukaan tanah runtuh karena panas, kata pejabat setempat. Pemerintah memberikan peringatan keras kepada warga agar menjauh dari lubang itu karena panasnya diperkirakan mencapai 800 derajat celcius. Lubang  api memang sudah sering ditemui, seperti  Lubang  Namaskaro yang berada di dasar gunung Namatjall di Islandia. Hanya saja api dari lubang itu berasal dari kejadian vulkanik dan panas bumi gunung berapi.  Lubang  itu selalu mengeluarkan panas dan lumpur mendi...